DINASTI MING PADA
TAHUN 1368-1644
(Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Sejarah Asia Timur I)
Dosen Pengampu: Dr. Sumardi, M. Hum
Kelas
B
Disusun oleh:
Kelompok
10
Putri
Ulfa P. 130210302046
Siti
Nurul Layly 130210302047
Dita
Yuliantika 130210302048
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, kerena atas limpahan karunia-Nya
tugas makalah yang berjudul “DINASTI MING PADA TAHUN 1368-1644” dapat
terselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
“Sejarah Asia Timur I”.
Tidak lupa disampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini,
yaitu :
(1)
Bapak Drs. Sumardi, selaku dosen pengampu
Mata Kuliah Sejarah Asia
Timur I yang telah membimbing penulis;
(2)
Rekan-rekan di program
studi Pendidikan Sejarah Universitas Jember yang telah memberikan semangat
kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah ditulis dengan
sungguh-sungguh, kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan karya-karya
selanjutnya. Akhir
kata, semoga makalah ini bermanfaat.
Terima Kasih.
Jember, November 2014
Kelompok 10,
DAFTAR
ISI
Dinasti Ming ini muncul karena keberhasialan Zhu
Yuanzhang dalam mengusir Bangsa Mongol. Pada saat itu Zhu Yuanzhang ini
menobatkan dirinya sebagai kaisar dengan gelar Ming Taizhu (1368-1644). Tahun
pemerintahannya yang disebut dengan Hongwu, sehingga ia juga dikenal dengan
sebutan Kaisar Hongwu. Dinasti barunya itu dinamakan Dinasti Ming.
Pada tahun 1399-1406 Zhu Yuanzhang digantikan oleh
cucunya yang bernama Zhu Yunwen dengan gelar Jianwen. Akan tetapi pada saat itu
Dinasti Ming berada dalam kekuasaan putra-putara Zhu Yuanzhing. Kaisar Jianwen
berusaha mengendalikan paman-pamannya tersebut, dan sampai akhirnya terjadi
perang saudara antara Kaisar Jianwen dengan paman-pamannya selama 4 tahun.
Pada tahun 1644 Dinasti Ming mengalami keruntuhan ddan
pada saat itu kekuasaan Dinasti Ming telah berakhir dan kekuasaan tersebut
diganti dengan kekuasaan Dinasti Qin. Keruntuhan tersebut dikarenakan serangan
dari bangsa Manchu ke China. Awalnyya bangsa Manchu ini telah diusir dari
China, tetapi mereka tidak bersedia dan mereka malah memindahkan pusat
meperintahan mereka dari Mukden ke Beijing.
Sebelum masa keruntuhan yang dialami Dinasti Ming,
dimasa itu mengalami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu
juga berkembang ilmu pengobatan, perkembangan seni, perkembangan ekonomi dan
kemasyarakatan, dan perkembangan agama dan filsafat. Perkembangan tersebut akan
dibahas di dalam makalah ini. Selain membahas tentang perkembangan-perkembangan
yang terjadi pada Dinasti Ming, dalam makalah ini juda akan membahas tentang
perjalanan Muhibah Zheng He, serta membahas tentang hubungan Dinasti Ming
dengan kepulauan Nusantara.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan,
penulis mengambil Rumusan Masalah yaitu sebagai berikut.
1.1.1
Bagaimana
proses berdiri dan berkembangnya Dinasti Ming pada tahun 1368-1644?
1.1.2
Bagaimana
proses runtuknya Dinasti Ming pada tahun?
1.1.3
Bagaimana
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semasa Dinasti Ming?
1.1.4
Bagaimana
perkembangan ilmu pengobatan semasa Dinasti Ming?
1.1.5
Bagaimana
perkembangan kesenian pada masa Dinasti Miang?
1.1.6
Bagaimana
perkembangan ekonomi dan kemasyarakatan semasa Dinasti Ming?
1.1.7
Bagaimana
perjalanan Muhibah Zheng He?
1.1.8
Bagaimana
perkembangan keagamaan dan filsafat semasa Dinasi Ming?
1.1.9
Bagaimana
hubungan Dinasti Ming dengan kepulauan Nusantara?
Berdasarkan Rumusan masalah yang telah dipaparkan,
dapat diambil beberapa tujuan yaitu sebagai berikut.
1.3.1
Mengetahui
berdirinya dan berkembangnya Dinasti Ming pada tahun 1368-1644;
1.3.2
Mengetahui
keruntuhan Dinasti Ming;
1.3.3
Mengetahui
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semasa Dinasti Ming;
1.3.4
Mengetahui
perkembangan pengobatan semasa Dinasti Ming;
1.3.5
Mengetahui
perkembangan kesenian pada masa Dinasti Ming;
1.3.6
Mengetahui
perkembangan ekonomi dan kemasyarakatan pada masa Dinasti Ming;
1.3.7
Mengetahui
perjalanan Muhibah Zheng He;
1.3.8
Mengetahui
perkembangan keagamaan dan filsafat pada masa Dinasti Ming;
1.3.9
Menngetahui
hubungan Dinasti Ming dengan kepulauan Nusantara.
Semoga makalah ini dapat
memperdalam wawasan terkait dengan
sejarah Dinasti Ming pada tahun 1368-1644.
Setelah
berhasil mengusir Bangsa Mongol, Zhu Yuanzhang menobatkan dirinya sebagai
kaisar dengan gelar Ming Taizu (1368-1398). Tahun pemerintahannya disebut dengan
Hongwu, sehingga Ia
juga dikenal dengan sebutan Kaisar Hongwu. Dinasti barunya itu dinamai Dinasti Ming.
Zhu
Yuanzhang digantikan oleh cucunya yang bernama Zhu Yunwen dengan gelar Jianwen
(1399-1402). Tetapi saat itu, kekuasaan Negara berada ditangan putra-putra Zhu
Yuanzhang. Kaisar Jianwen berusaha mengendalikan para pamannya itu dengan jalan
membatasi kekuasaan mereka, tetapi tentu saja usaha ini mendapat tentangan
keras. Sebagai akibatnya, timbul perang saudara selama 4 tahun antara Kaisar
dengan paman-pamannya. Dari segi kepandaian dan kemampuan, kaisar bukanlah
tandingan pamannya yang bernama Zhu Di (putra
keempat Zhu Yuanzhang). Zhu Di, yang sebelumnya bergelar Pangeran Yan, membawa
tentaranya menuju ibukota dan berhasil menguasainya. Kaisar Jianwen lalu
menghilang tak tentu rimbanya. Ada yang mengatakan bahwa Ia melarikan diri dengan
menyamar sebagai seorang biksu.
Zhu
Di mengangkat dirinya sebagai Kaisar Yongle (1403-1424) yang berarti
“Kebahagiaan Abadi”. Pelayaran samudra merupakan salah satu hal yang patut
dibanggakan pada masa Dinasti Ming. Kaisar Yongle telah memerintahkan Admiral
Zheng He untuk mengadakan pelayaran ke selatan menuju negeri-negeri yang jauh.
Ia berhasil berlayar sejauh Afrika (Mongadishu dan Malindi), Kalkuta, dan
Kolombo jauh sebelum Bangsa Barat berhasil mencapainya. Pembahasan lebih
lanjut mengenai pelayaran muhibah Zheng He akan dicantumkan pada bagian khusus
di bawah ini.
Yongle
digantikan oleh putra
tertuanya, Hongxi (1425), yang hanya memerintah setahun. Kaisar bertubuh gemuk dan
sakit-sakitan ini tidak begitu tertarik dengan kemiliteran. Meskipun demikian, Ia adalah seorang
penguasa yang manusiawi serta memiliki kecakapan dalam administrasi
pemerintahan. Hongxi meninggalkan 10 putra dan 7 putri. Istrinya, Ratu Zhang yang
hidup hingga tahun 1422, menjadi sangat berkuasa.
Pengganti
Hongxi adalah cucu Yongle yang bernama Zhu Zharing (gelar: Xuande, memerintah
1426-1435). Ia dikatakan sebagai seorang penguasa yang sempurna karena piawai
dalam bidang kemiliteran, administrasi pemerintahan, dan seni. Keahliannya
dalam bidang militer itu diwarisi dari kakeknya, Yongle. Masa pemerintahan
Xuande boleh dikatakan cukup stabil. Kemakmuran dan kesenian berkembang pesat. Pertikaian dan
intrik dalam istana berhasil diredamnya dengan mendengarkan saran putra menteri
dan pejabat bijaksana yang diwarisi dari kakek serta ayahnya. Sebagai seorang
reformis, Xuande berusaha memerangi ketidakadilan, menentang hukuman mati,
serta mendorong dihapuskannya hukuman kurungan bagi orang miskin yang tak mampu
membayar utang-utangnya. Barangkali, kesalahan terbesar yang dilakukan Xuande
adalah andilnya dalam meningkatkan kekuasaan kaum Keberi, dimana Ia mendirikan sekolah
khususnya bagi mereka dan mengangkat mereka sebagai penasihat militernya.
Selain itu, Ia
juga sering memerintahkan para kasimnya untuk mencari benda-benda aneh, seperti
batu-batu berharga, benda-benda langka atau mewah, dan bahkan cengkerik aduan
yang selalu menang. Kaum Keberi diutusnya diutusnya pula mencari gadis-gadis
Korea yang terkenal kecantikannya untuk dijadikan selir.
Xuande
adalah kaisar pertama Dinasti Ming yang sungguh-sungguh melindungi seni. Bahkan
Ia sendiri merupakan
seorang seniman berbakat. Sebagai seorang pecinta dan pelindung seni,
dikumpulkannya para seniman berbakat dari seluruh penjuru negeri serta
memerintahkan mereka untuk menghiasi makam-makam leluhurnya dengan karya seni
yang indah. Ketika Xuande wafat, sepuluh orang selir ikut dikuburkan
bersamanya. Penggantinya, Zhu Qizhen, adalah putranya dengan istri keduanya
yang bermarga Sun.
Zhu
Qizhen naik tahta dengan gelar Zhengtong pada tahun 1436 saat berusia 8 tahun.
Karena usianya yang masih belia itu, neneknya yang bermarga Zhang (janda
Hongxi) memegang tampuk kekuasaan sebagai wali dengan dibantu oleh tiga orang
menteri bijaksana. Administrasi pemerintahan saat itu boleh dikatakan baik.
Qizhen yang menjadi pihak kesayangan ayahnya ini, merupakan seseorang yang
cerdas. Sejarah mencatat bahwa Ia
memiliki ukuran kepala bagian atas yang besar, sehingga memerlukan topi yang
khusus.
Sementara
itu, bangsa Mongol yang dahulu diusir oleh Zhu Yuanzhang ke utara, kini menjadi
kuat kembali. Mereka menyatukan dirinya dibawah Esen khan. Kaisar Zhengtong
pada tahun 1449 melakukan kesalahan fatal dengan mengikuti bujukan gurunya,
seorang kasim bernama Wang Zhen, untuk menyerang Esen Khan. Meski memiliki
pasukan berjumlah setengah juta orang, namun perbekalan dan persenjataan mereka
sungguh buruk. Banyak yang mati karena kelaparan saat sedang berbaris ke utara
sehingga sisanya dengan mudah dibantai oleh bangsa Mongol. Zhengtong yang tidak
sempat melarikan diri ditawan oleh mereka.
Sebagai
penggantinya, diangkatlah adik Zhengtong yang bernama Zhu Qiyusebagai
kaisarbaru dengan gelar Jingtai (1450-1457). Ia merupakan seorang pengusa yang
lemah; namun berkat jasa para menterinya,
Ibukota berhasil
dipertahankan dari serangan Esen Khan. Meskipun dijadikan tawanan, Zhengtong
diperlakukan dengan baik dan menjadi sahabat Esen Khan. Dengan mengangkat
kaisar baru, pihak China telah berhasil menurunkan nilai penting bekas
kaisarnya yang disandra bangsa Mongol itu. Ketika dibebaskan setahun kemudian,
pihak Ming hanya mengirimkan tandu biasa beserta dua ekor kuda untuk
menjemputnya. Setibanya mkembali di istana, zhengtong ditempatkan sebagai tahanan
rumah dan terasing sama sekali dari dunia luar. Ini berlangsung selama enam
setengah tahun
hingga sakit kerasnya Jingtai dan mengangkat kembali Zhengtong sebagai kaisar.
Jingtai wafat tidak lama setelah itu, barangkali karena disiksa oleh para kaum
pemberontak. Segera setelah menduduki singgasananya kembali, Zhengtong yang
saat itu telah mengganti gelarnya dengan Tianshun melakukan gerakan
pembersihan. Ia menggunakan jasa kaum Keberi dan membentuk dinas rahasianya
sendiri untuk memata-matai dan menemukan orang yang berniat menentangnya.
Selama masa kekacauan pada era 1450-1n itu, lebih dari 1.500.000 orang telah
terbunuh atau terusir dari tempat kediamannya.
Putra
tertua Zhengtong, Chenghua (memerintah: 1465-1487) diangkat sebagai pengganti
ayahnya. Usianya baru berumur 20 bulan ketika ayahnya ditawan oleh bangsa
Mongol. Ia dicabut haknya sebagai pewaris tahta dan dijadikan tahanan rumah di
istanya sendiri, namun dipulihkan kembali kedudukannya sebagai puta mahkota
tatkala usianya belum genap 10 tahun, yakni saat ayahnya berkuasa kembali.
Chenghua memiliki kepribadian lemah, peragu, dan agak gagap ketika bicara.
Kaisar itu juga dikenal sebagai penggemar seni music dan pertunjukan. Ia
tersohor pula sebagai seorang ahli kaligrafi dan pelukis yang handal. Saat naik
tahta, ibunya serta Ratu Qian, permaisuri Zhengtong, berebut kedudukan sebagai
wali, dan pada masa akhir penerintahannya, kekuasaan didominasi oleh selirnya
bernama Wan Guifei.
Suatu
dewan yang beranggotakan 12 orang akhirnya diangkat sebagai wali semasa awal
pemerintahankaisar ini. Mereka melakukan reformasi dan pembenahan terhadap
kesalahan rezim pemerintahan sebelumnya. Orang yang telah dihukum secara tidak
adil dibebaskan dan bantuan diberikan pada rakyat yang kelaparan akibat bencana
alam. Bidang militer juga diperkuat oleh mereka sehingga kini kekuasaan Dinasti
Ming dapat menggulingkan bangsa Mongol dan Jurchen. Dinasti Ming menjadi
disegani oleh Negara-negara tetangga di sekitarnya. Pasukan pengawal istana
yang beranggotakan 10.000 orang talah direorganisasi kembali, di mana
masing-masing divisinya dikomandani oleh seorang Keberi yang juga bertanggung
jawab atas masalah persenjataan bawahannya. Tembok besar sebagai benteng
pertahanan juga dibangun kembali sepanjang 5.000 km.
Belakangan
kekuasaan jatuh ke tangan seorang selir bernama Wan Guifei. Isteri pertama
Chenghua telah diturunkan dari kedudukannya karena memukul selir ini. Wan yang
anaknya sendiri meninggal merupakan seorang yang berhati iri dan dengki. Ia
membunuh anak selir-selir lainnya agar mereka tidak mendapatkan kesempatan
menjadi pewaris tahta. Chenghua membiarkan saja sepak terjang selirnya itu
hingga kekuasaannya semakin menjadi-jadi. Ia beserta Liang Fang, kasim
kesayangannya, dan Wang Zhi, kepala kaum Keberi, mulai memerah negeri itu
habis-habisan. Mereka melakukan
penyalahgunaan kekuasaan dengan memperjual belikan kedudukan di istana serta
mengumpulkan secara paksa berbagai benda berharga dari seluruh penjuru negeri.
Tanah yang mereka kuasai dan rampas semakin luas saja.
Prihatin
dengan pembunuhan putra-putra selir tersebut, istri pertama Chenghua
menyembunyikan putra
yang dilahirkan oleh seorang selir lainnya dan lima tahun kemudian, ketika
Chenghua mengeluhkan adanya keturunan yang hidup baginya, putra itu dihadapkan
dan diserahkan kembali padanya. Mengetahui hal itu, Wan yang berhati dengki
tidak dapt melakukan apa-apa, selain memerintahkan agar ibu anak itu dibunuh.
Kekuasaan
penuh angkara Wan Guifei beserta kaum Keberi yang jahat itu harus berakhir
setelah naik tahtanya Hongzhi (memerintah: 1488-1505), putra yang disembunyikan
dari ancaman pembunuhan Wan itu. Ia merupakan salah seorang penguasa terkemuka
Dinasti Ming yang terkenal karena
kebijakannya. Hongzhi merupakan satu-satunya penguasa Dinasti Ming yang hanya
memiliki satu istri saja. Begitu naik tahta, dilakukan pembersihan terhadap
pejabat korup termasuk Liang Fang serta memecat 3.000 pejabat yang memperoleh
kedudukannya melalui suap. Sebagai seorang penganut Konfusianismme yang teguh,
ia mendengarka saran-sarn Dewan Penasehatnya. Kaisar bijaksananya ini dikenal
cermat dalam urusan kenegaraan. Oleh karena itu, semasa pemerintahannya Negara
berada dalam keadaan stabil dan harmonis.
Zhengde
(memerintah: 1506-1521) merupakan penguasa Dinasti Ming berikutnya yang menjadi
putra kesayangan ayahnya (Hongzhi). Saat menjelang kematiannya, Hongzhi baru
menyadari kelemahan putranya ini dan memohon pada Dewa Penasehat agar
membimbing dan menjaga putranya tersebut. Ia mengatakan bahwa Zhengde
sebenarnya cerdas hanya saja terlalu gemar bersenang-senanga dan malas. Kekhawatiran Hongzhi ini
menjadi kenyataan, karena Zhengde ternyata tidak menyukai urusan kenegaraan,
tatacara istana, serta para penasehatnya yang kolot. Ia menghabiskan waktunya
waktunya untuk bersenang-senang, menunggang kuda, memanah, berburu, dan
mendengarkan musik.
Istana dipenuhinya dengan para petarung, pemain acrobat, dan tukang sulap.
Kekuasaan jatuh kembali ke tangan kaum Keberi, dan kaisar bahkan bermain-main
sebagai pedagang dalam pasar-pasaran yang diselenggarakan oleh para kasim di
istana. Para pejabat yang khawatir dengan keadaan ini, mencoba menyingkirkan
kaum Keberi pada tahun 1506, tetapi gagal. Zhengde tertarik dengan segala
sesuatu yang berbau Tibet. Ia membangun sebuah kuil baru di kompleks istananya bagi
para Lama. Terkadang ia mengenakan pakaian Tibet dan upacara pemakaman ibunya
dipimpin oleh para biksu Tibet. Kaisar Dinasti Ming yang merupakan penggemar
wanita dan arak, dimana Ia
sering mabuk selama berhari-hari. Selain itu, Zhengde juga gemar menyelinap
secara diam-diam ke luar istana guna mengunjungi rumah-rumah pelacuran yang ada
di kota. Peristiwa terpenting yang terjadi pada masa pemerintahan kaisar ini
adalah pemberontakan yang diterbitkan seorang pangeran di Ningxia pada tahun
1510 yang diikuti dengan dua tahun masa kekacauan di Sichuan. Pada masa akhir
pemerintahannya, kaisar banyak melakukan pemborosan dengan melakukan perjalanan
keliling negeri yang menghabiskan pembendaharaan Negara. Sekembalinya dari
perjalanan terakhirnya, kaisar muntah darah dan jatuh sakit. Tiga bulan
kemudian ia meninggal.
Zhengde
tidak mempunyai seorang putra pun, sehingga singgasana Dinasti Ming terpaksa
dialihkan kepada putra angkatnya yang naik tahta dengan gelar Jiajing
(1522-1567). Kaisar baru ini merupakan keturunan putra bungsu Chenghua dengan
seorang selir yang berasal dari Huangzhou. Berbeda dengan kaisar-kaisar Dinasti
Ming lainnya, Jianjing merupakan seorang penganut Daoisme yang fanatic. Ia
begitu teropsesi untuk menemukan obat untuk hidup abadi. Sejumlah uang mengalir
kekeagamaan yang berlangsung selama 12 jam, dimana naskah-naskah do’a yang
dipergunakan dalam ritual itu ditulis dengan emas. Sesuadah upacara usai, para
penyalin naskah doa dengan gembira mengumpulkan serbuk-serbuk emas yang
tertinggal di kuas-kuas mereka.
Pada
tahun 1542, nyawa
Jianjing berhasil diselamatkan dari usaha pembunuhan oleh para selirnya.
Delapan belas selir berusaha mencekiknya dengan tali ketika sedang tidur.
Namun, usaha itu gagal karena mereka telah menarik simpul yang salah dan di
samping itu salah satu gadis telah membocorkan rencana itu kepada ratu. Seluruh
pelaku usaha pembunuhan itu kemudian dijatuhi hukuman mati. Kendati obsesi
Zhengde pada Daoisme sedikit banyak telah menyebabkannya mengabaikan urusan
kenegaraan, untungnya ia berhasil memilih dan mengangkat menteri-menteri yang
berkapabilitas tinggi serta setia. Bahkan dengan dukungan ibu suri dan Sekretaris
Agung Negara, ia membersihkan istana dari cengkraman kaum kasim yang korup.
Disitanya harta kekayaan mereka, yang dari seorang kasim saja dapat mencapai 70
peti emas dan 2.200 peti perak.
Masa
pemerintahan Jianjing yang berlangsung cukup lama ini memberikan kestabilan
bagi China. Meskipun demikian, pertahanan Negara dapat dikatakan sangat lemah.
Bangsa Mongol di utara yang saat itu dipimpin oleh Altan Khan (1507-1582) telah
menyusun kekuatannya kembali, dan pada tahun 1542 dengan penuh keberanian
menyerang China. Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan serangan itu tidak
sedikit; 200.000
orang dan jutaan hewan ternak menjadi korban. Sementara itu, di pantai sebelah
tenggara, bajak laut Jepang menjadi semakin ganas dan melakukan perampokan
terhadap provinsi-provinsi China yang berbatasan dengan pantai.
Longqing
(1567-1572) yang merupakan pengganti Jianjing, sesungguhnya tidak begitu disukai
oleh ayahnya, yang telah memilih puta selir lainnya. Namun, karena pertimbangan
Longqing yang lebih tua usianya, akhirnya ia tetap diangkat menjadi kaisar yang
baru. Pengusa Dinasti Ming yang naik tahta pada usia 29 tahun ini begitu
berpengalaman dalam urusan kenegaraan. Sebagai penguasa yang lemah, tak
sedikitpun ia tertarik terhadap urusan negara. Saat mengikuti siding
kenegaraan, kaisar lebih banyak berdiam diri. Ia hanya mementingkan
bersenang-senang saja. Meskipun demikian, Longqiing sanggup memperbaiki kesalah
pendahulunya, seperti menggembalikan nama baik orang yang telah dihukum secara
tidak adil oleh rezim sebelumnya serta mengusir para pendeta Daois dari istana.
Berkat menterinya yang cendekia bernama Zhang Zhuzheng, perjanjian perdamaian berhasil
dilakukan dengan Altan Khan, yang bersedia menerima status sebagai negara
vassal (negara taklukan). Selain itu, gangguan para bajak laut Jepang juga
berhasil diatasi.
Kaisar
Dinasti Ming berikutnya adalah Wanli (1573-1620). Pada masa kekuasaannya, transformasii
China menuju negara modern dimulai. Hasil pertanian dari Amerika, seperti
jagung, kentang manis, dan kacang, mulai dikenal dan jumlah penduduk meningkat
menjadi lebih dari 100 juta jiwa atau bertam,bah dua kali lipat dibandingkan
awal berdirinya Dinasti Ming. selain itu, Dinasti Ming terkenal pula dengan
keramiknya yang diekspor ke seluruh
penjuru dunia. Pada berbagai belahan bumi, kita dapat menjumpai sisa-siasa
keramik dari zaman dinastii ini. Wanli yang memerintah selama kurang lebih 47
tahun, merupakan penguasa China yang memerintah selama setelah Han Wudi. Ia
merupakan putra ketiga Longqing dan naik tahta saat baru berusia 10 tahun.
Bidang pendidikan juga berkembang pesat semasa kekuasaan kaisar Wanli.
Kota-kota besar seprti Beijing, Nanjing, Suzhou, dan Hangzhou menjadi pusat
kegiatan intelektual. Karya sastra baik yang berupa novel maupun ensiklopedia
banyak bermunculan pada zamannya.
Pada
mulanya, pemerinjtahan Wanli dapat dikatakan baik karena didukung oleh
menteri-menteri yang cakap dan loyal, termasuk Zhang Zhuzheng (yang telah
mengabdi semenjak pemerintahan kaisar sebelumnya). Efisiensi dan kedisiplinan
dalam administrasi pemerintahan berhasil dibangkitkan kembali. Tetapi setelah
kematian Zhang, Wanli mulai menarik diri dari pemerintahan. Ia jarang
menghadiri sidang-sidang
di istana dan membiarkan menteri-menteri dan para duta-duta asing menghadap
tahta kosong. Urusan pemerintahan menjadi terbengkalai. Perseteruan dengan
bangsa Mongol timbul kembali, di mana pada tahun 1560 mereka berhasil merebut
Qinghai. Selain itu, terjadi permasalahan serius dengan suka minoritas di
bagian barat daya. Pasukan terpaksa dikirim ke Burma untuk mmemadamkan
pemberontakan di sana yang terjadi antara tahun 1599-1600.
Bangsa
Jepang di bawah pimpinan Toyotomi Hideyoshi (1536-1598) berhasil menaklukkan
Korea, negara protektorat
China. Sehingga, menimbulkan perang
dahsyat selama lima tahun (1593-1598) guna mengusir mereka. Kendati dimenangkan
oleh Dinasti Ming, ekspedisi militer ini menelan biaya sangat besar yang
menghabiskan devisa negara. Meskipun jumlah pasukan telah dilipatgandakan
semenjak abad ke-14, organisasi mereka sangat buruk dan tidak efisien. Prajurit
direkrut dari kalangan bawah yang tidak berpengalaman sedikitpun dalam bidang
kemiliteran. Keuangan negara semakin memprihatinkan dan itu semua masih
dibebani oleh kehiduupan Wanli yang sangat boros. Untuk mengatasi masalah
keuangan yang semakin menjadi-jadi, kaisar membuka kembali tambang perak pada
tahun 1594 serta menarik pajak yang berat dari rakyat.
Kaisar
berikutnya, Taichang, hanya sempat memerintah selama sebulan saja (1620). Ia
wafat tidak lama setelah mmemerintah. Ada dugaan bahwa ia diracun oleh salah
seorang selirnya yang bermargga Zheng beserta komplotannya. Putra Taichang
kemudian naik tahta dengan gelar Tianqi (1621-1627). Penguasa Dinasti Ming ini
merupakan seorang buta huruf, namun sangat terampil dalam pertukangan.
Sumber-sumber sejarah China menyatakan bahwa ia sama sekali tidak berminat
untuk belajar membaca dan menulis, tetapi sesekali menyibukkan diri di dalam bengkel kerjanya,
ia akan melupakan makan dan minum.
Urusan
kenegaraan diabaikannya dan ia menyerahkan
kekuasaan pada seorang Keberi bernama Wei Zhongxian yang kemudian melakukan
banyak kekejaman. Ia membentuk suatu dinas rahasia guna memata-matai orang yang
menentangnya. Para pejabat saat itu diangkat hanya berdasar kesetiaan terhadap
kasim tersebut. Menghadapi kondisi pemerintahan yang memprihatinkan itu,
beberapa pejabat pada tahun 1624 berupa untuk memulihkan kembali pemerintahan
yang baik dengan menggulingkan Wei, namun gagal. Pemimpin mereka yang digelari
Enam Pahlawan disiksa dan dihukum mati. Sedangkan para pendukung gerakan ini
yang berjumlah 700 oarang disingkirkan dan diasingkan dari istana. Kaisar hanya
tinggal diam menyaksikan peristiwa ini, sehingga rakyat menganggap bahwa
Dinasti Ming telah kehilangan pamornya.
Tianqi
digantikan oleh adiknya yang naik tahta dengan gelar Chongzhen (1628-1644). Ia
sekaligus Kaisar Ming yang terakhir. Saat itu kerajaan dalam keadaan kacau-balau,
namun ironisnya intelektualisme justru bangkit semasa pemerintahannya dan
bahkan dua orang imam Yesuit, Johann Adam von Schall dan John Schreck diberi
kesempatan untuk mmemperbaiki penanggalan. Bencana kelapan yang terjadi pada
tahun 1628 makin memperlemah kekuasaan pemrintahan pusat. Karena kemiskinan
yang makin mendera rakyat, tingkat kriminalitas semakin meningkat. Para bandit
mmerajalela diseluruh penjuru negeri. Pemberontakan juga timbul dimana-mana.
Yang terpenting di antaranya
dipimpin oleh Li Zicheng yang akan kita bahas
pada bagian selanjutnya.
Sementara
itu, menjelang akhir Dinasti Ming, Bangsa Manchu di utara menjadi bertambah
kuat. Pemimpin mereka, Nurhachi beserta putranya Abahai, berhasil merebut
Liaoning pada awal abad ketujuh belas. Setelah merasa cukup kuat, mereka
mendirikan dinasti sendiri yang diberi nama Qing (1626).
Abahai
kini berniat untuk menaklukkan China bagian utara. Pada tahun 1640, Ia menyerang Jinzhou
dengan kekuatan besar. Untuk menghadapi serangan itu, Dinasti Ming
memerintahkan Hong Chengchou (Komandan pasukan di Liaodong) serta delapan orang
Jendral, termasuk Wu Sangui, untuk mempertahankan kota. Selain itu, pihak Ming juga
mengerahkan 130.000 pasukan untuk membela kedaulatan wilayahnya. Namun, Abahai
berhasil menghancurkan lebih dari 50.000 pasukan China serta melumpuhkan
pertahanan Dinasti Mimg. Jinzhou akhirnya jatuh ke tangan bangsa Manchu dan
pada tahun 1647 Hong berhasil ditawan oleh mereka. Namun, Ia diperlakukan dengan
baik dan penuh dengan rasa hormat, sehingga Hong kemudian bergabung dengan
angkatan perang Manchu.
Wilayah
Abahai kini bertambah luas hingga mencapai celah di Tembok Besar (Shanhaiguan),
tetapi Ia memutuskan untuk
tidak terlibat konfrontasi langsung dengan pasukan Ming yang kuat di daerah
itu. Ia lebih memilih untuk mengalihkan serangannya ke Manchuria Utara, dan
pada tahun 1643, seluruh daerah itu telah berada digenggaman tangannya.
Meskipun demikian, kesehatan Abahai turun dengan drastis dan wafat pada usia 51
tahun. Putranya yang baru berusia enam tahun, Fulin, dipilih untuk
menggantikannya dengan dibantu oleh Jirgalang (sepupu Nurhaci) dan Dorgan
(putra ke empat belas Nurhaci) sebagai walinya. Gelar Fulin setelah menjadi
kaisar adalah Shunzi (1644-1661).
Semasa
kekaisaran Ming terakhir (Chongzhen), ancaman tidak hanya dari bangsa Manchu
saja, melainkan juga oleh pemberontakan yang melanda diri sendiri.
Pemberontakan terpenting dipimpin oleh Li Zicheng, yang berhasil merebut
Beijing, ibukota Dinasti Ming pada tanggal 25 April 1644. Li lalu menyatakan
dirinya sebagai kaisar dan mendirikan dinasti baru, Xun. Sebelumnya, Dorgan
telah berusaha menjalin hubungan dengan beberapa pemimpin pemberontakan itu,
manun sebelum persekutuan anatar keduanya berhasil dijalin, Li Zicheng telah
terlanjut merebut ibukota. Kaisar Chongzhen menggantung dirinya ppada sebaranng
pohon dan bersama dengan kematiannya itu, berakhirlah Dinasti Ming. Jendral Wu
Sangui yang ditugaskan menjaga perbatasan masih setia pada Dinasti Ming dan ia
sebelumnya memang telah dipanggil pulang untuk menyelamatkan ibukota.
Mengetahui ibu kota telah jatuh, diputuskannya untuk meminta pertolongan pada
bangsa Manchu yang saat itu dipimpin Shunzhi guna mengusir Li.
Wu
membuka
gerbang Shanhaiguan yang sedang dipertahankannya, dan mempersilahkan pasukan
Manchu untuk memasukinya. Bahkan, ia menyambut Dorgan secara pribadi. Mereka
kemudian sepakat untuk bersama-sama menyerang Li. Ketika pasukan Manchu telah
semakin mendekati Beijing, Li memutuskan untuk melarikan diri kea rah barat
yang sebelumnya membakar
sebagian istana kekaisaran. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Juni 1644.
Sehingga, dinasti yang didirikan Li hanya sempat bertahan selama sebulan lebih
saja. Dua hari kemudian atau tepatnya tanggal 6, pasukan Manchu berbaris
memasuki ibukota. Ternyata
setelah Li berhasil diusir, bangsa Manchu tidak bersedia meninggalkan China.
Mereka malah memindahkan pusat pemerintahan mereka dari Mukden ke Beijing,
sehingga demikian berawallah kekuasaan Dinasri Qing di China.
Kaisar
Hongxi yang tertarik dengan astronomi telah berhasil mengenali adanya bitik
matahari jauh sebelum bangsa Barat mengenalnya. Ini tampak nyata pada lukisan
yang berasal dari tahun 1425.
Selama
masa pemerintahan Dinasti Ming, pengamatan terhadap gerhana matahari total
dapat dijumpai dalam catatan-catatan sejarah provinsi. Salahh satu di antara
catatan itu berasal dari tanggal 20 Agustus 1514, yang berbunyi:
Pada
jam wu, tiba-tiba matahari mengalami gerhana total. Binatang-binatang mulai
tampak dan suasana saat itu sungguh gelap. Segala sesuatu tidak dapat dilihat
dari jarak yang lebih jauh dibandingkan sejangkauan tangan. Hewan-hewan
domestik dan manusia merasa takut. Namun, dua jam kemudian keadaan menjadi
terang kembali (cacatan sejarah lokal daerah Dongxiang, Provinsi Jiangxi).
Kemajuan
perkembangan ilmu pengetahuan Dinasti Ming juga ditunjang oleh kedatangan para
Yesuit. Atas permintaan Matteo Ricci, didatangkan seorang ahli bintang yang
bernama Sabbation De Ursis pada tahun 1606 ke Beijing. Ketika ahli-ahli
astronomi kerajaan melakukan kekliruan dalam mramalkan suatu gerhana matahari,
pada tahun 1611, kaum Yesuit itu diminta untuk melakukan parbaikan terhadap
penanggalan serta menerjemahkan buku-buku Barat mengenai astronomi dan
matematika. Penerjemahan ini dilakukan De Ursis dengan bantuan Paul Xu (Xu
Guanqi (1562-1633), seorang sastrawan Tionghoa yang telah menganut agama
Kristen dan menjadi murid Matteo Ricci).
Salah
satu karya Barat yang diterjemahkan adalah risalah matematika karangan Euklides
yang tersohor itu. Penanganan observatorium kerajaan lalu diserahkan ke tangan
kaum Yesuit tersebut. Tokoh Yesuit penting lain yang memberikan sumbangsih bagi
ilmu pengetahuan Dinasti Ming adalah Johann Adam Schall. Ia membantu penyusunan
penanggalan dan selain itu mengajar bangsa Tionghoa cara pembuatan meriam. Setelah Dinasti Ming
jatuh, Schall diangkat oleh Sunzhi, kaisar Dinasti Qing yang pertama, sebagai
direktur observatorium kerajaan Peking. Ketika terjadi penangkapan terhadap
imam-imam Katolik pada tahun 1664, Schall juga ikut ditangkap, namun kemudian
dibebaskan dan meninggal dunia pada tahun 1666.
Ensklopedia
dalam bidang teknik dan ilmu pengetahuan banyak pula dihasilkan semasa Dinasti
Ming. Pada tahun 1615, terbitlah suatu karya berjudul Gongbu changku xuzhing
(Apa yang Orang Perlu Ketahui Mengenai Perbengkelan dan Pergudangan Pada
Kementrian Pekerjaan Umum). Buku ini merupakan informasi yang kaya bagi sejarah
perkembangan teknik di China. Menyusul kemudian terbitlah Tiangong kaiwu pada
tahun 1637 yang berisikan pambahasan mengenai teknik pertanian, pemintalan,
pembuatan keramik, pengecoran besi atau baja, transportasi air, produksi
senjata, kuas, serta kertas. Kedua karya ini sama-sama dihiasi dengan banyak
gambar.
Wang
Zheng (1571-1644) menulis buku yang mengulas mengenai seluk-beluk peralatan
militer serta hidrolis. Bekerja sama dengan seorang imam Yesuit bernama Johann
Schreck, dihasilkan suatu karya yang mengupas mesin-mesin Barat dengan judul
Yuanxi qiqi tushuo (Penjelasan Bergambar Mengenai Mesin-mesin Aneh dari Barat).
teknik pertanian tidak luput pula dari perhatian para sarjana. Pada masa akhir
Dinasti Ming, terbit pula berbagai buku mengenai pertanian, seperti Nongshu
karya Ma Yelong (1490-1571); Shengshi Nongshu mengenai metode-metode pertanian
di Zhejiang Utara; Nongpu Liushung tentang pertanian serta pertamanan; dan yang
terpenting dari semua itu adalah Nongzheng quanshu (1636) karya Xu Guanqi yang
membantu Matteo Ricci menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan Barat,
sebagaimana yang telah kita singgung di atas Karya Xu yang merupakan murid
Matteo Ricci ini merupakan ensklopedi teknik-teknik pertanian sejati dalam
sejarah China.
Li Shizhen
(1518-1593) adalah tabib terkenal yang hidup semasa Dinasti Ming. Hasil
karyanya yang terpenting adalah Materia Medica (Bencao Gangnu) dalam 52 jilid,
yang memuat penjelasan mengenai 1.892 obat Tionghoa (baik berupa tumbuhan,
hewan, maupun mineral) serta memiliki lebih dari 1.000 ilustrasi. Selain itu,
diulas pula di dalamnya berbagai gejala penyakit Karya besar ini merupakan
intisari pengetahuan medis China kuno selama 200 tahun terakhir. Dua puluh
tujuh tahun masa hidupnya diabdikan untuk menyusun ensiklopedi ini. Tidak
jarang Ia harus bepergian ke
gunung-gunung serta tempat-tempat terpencil demi mempelajari dan mengumpulkan
contoh bahan obat-obatan. Pada perkembangan selanjutnya, karya ini juga telah
diterjemahkan ke dalam bahasa asing, termasuk beberapa bahasa Barat.
Ii Shizhen sendiri berasal dari keluarga
tabib. Semenjak kecil, Ia
telah mengagumi pekerjaan sebagai tabib yang sanggup menyelamatkan banyak
nyawa, sehingga bercita-cita pula untuk menjadi tabib seperti ayah dan
kakeknya. Meskipun demikian, ayahnya menginginkan agar Li mengikuti ujian
negara dan menjadi pejabat. Tetapi setelah tiga kali mengalami kegagalan dalam
ujian negara, ayahnya mengizinkan Li untuk mempelajari pengobatan, dan dengan
segera ia menjadi tabib terkenal. Dari hasil pengamatannya terhadap literatur
pengobatan lama, ditemukannya berbagai kesalahan fatal di dalamnya, sehingga
inilah yang mendorong Li untuk menyusun Materia
Medica yang tersohor itu.
2.5
Perkembangan Seni Semasa Dinasti
Ming
Novel-novel
terkemuka yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa merupakan produk
utama zaman Dinasti Ming. Bahkan dewasa ini, banyak dari novel tersebut yang
masih digemari orang dan telah diangkat ke layar lebar, seperti Kisah Tiga Negara (Sanguo Yanyi), Perjalanan
ke Barat (Xiyouji, Hokkian: See You Kie), Kisah Tepi Air (Suihuquan, Hokkian:
Shui Hu Thoan), Penganugerahan Dewa (Fengshen, Hokkian: Hong Sin), dan lain
sebagainya.
Kisah Tiga Negara merupakan novel sejarah yang
ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadipada Zaman Tiga
Negara dengan dibumbui berbagai kisah dramatis. Pengarangnya adalah Lo
Guanzhong, yang hingga saat ini masih belum dapat ditentukan dengan pasti kapan
kurun waktu kehidupannya. Novel berikutnya yang tidak kalah menariknya adalah Perjalanan
ke Barat. Begitu membaca atau mendengar judulnya,
Para pembaca
pasti teringat pada tingkah-pola nakal seekor kera sakti bernama Sun Wugong
(Hokkian: Sun Go Kong). Novel ini merupakan
karya seorang sastrawan bernarna Wu Chengen (± 1510-1580) dan diubah
berdasarkan perjalanan Xuanzang ke India untuk mengambil kitab-kitab Buddhis
(lihat kembali bab 11 subbab.K.1). Tentu saja aslinya perjalanan ke India itu
tidak disertai oleh Sun Wugong, siluman babi, dan siluman air. Wu Chengen
terlahir pada keluarga sederhana dan pernah memangku jabatan sebagai pejabat.
Setelah meletakkan jabatan. Ia
hidup dari menulis. Ia juga merupakan seseorang yang gemar rnembaca, terutama
kisah-kisah jenaka. Novel-novel hasil karyanya telah menjadikannya terkenal.
Kisah Tepi Air mengisahkan
tentang 108 pendekar Gunung Liang (Liangshan). Mereka adalah kaum yang menjadi
korban fitnah serta tirani orang lain. Ada yang istrinya direbut oleh seorang
jagoan dan tidak dapat memperoleh keadilan dari pihak berwenang. Terdapat pula
petani yang mengalami tindakan semena-mena serta tidak juga mendapatkan
keadilan, Atau seorang gagah perkasa yang gemar membela mereka yang tertindas.
Sosok-sosok semacam ini kemudian bergabung menjadi satu di Gunung Liang
dan memerangi ketidak-adilan. Salah satu
tokoh yang tidak asing adalah Wu Song, seorang jagoan yang pernah rnembunuh
harimau dengan tangan kosong.
Novel Penganugerahan Dewa tidak jelas siapa
pengarangnya. Isinya mengisahkan tentang pertempuran meruntuhkan. Dinasti Shang
serta pendirinya Dinasti Zhou yang banyak dibantu oleh orang-orang sakti.
Di dalamnya dapat kira jumpai
tokoh-tokoh seperti Jiang Ziya, Li Jing, dan Nazha dengan roda-apinya. Bahkan
hingga saat ini, rakyat Tionghoa menyegani Jiang Ziya, di mana mereka
menempelkan jimat di pintu rumahnya yang berfuliskan: "Jiang Ziya berada
di sini", guna menolak iblis-iblis jahat. Memang Jiang Ziya menurut novel
tersebut telah menganugerahkan gelar kedewaan pada arwah panglima perang,
pertapa, dan orang-orang sakti yang gugur dalam peperangan menumbangkan Dinasti
Shang itu, sehingga disegani para dewa serta makhluk halus. Karya-karya sastra
Dinasti Ming lainnya berupa cerpen dan drama, seperti kisah Sebuah Kecapi
(Bibaji), yang mengisahkan seorang istri mencari suaminya.
Karya seni
arsitektur terkemuka Dinasti Ming tampak pada bangunan kuil Surgawi, tempat
kaisar mengadakan upacara penghormatan pada langit (tian)_ Kuil pemujaan ini
dibagi rnenjadi tiga bagian yang masing-masing berorientasikan arah
utara-selatan, yakni: Kuil Pemujaan tahunan, tempat kaisar berdoa memohon panen
yang baik (ritual ini diawali semenjak zaman Dinasti Zhou, lihat bab 4 subbab
K); Kuil Alam Semesta, tempat meletakkan pagan pemujaan bagi langit dan
leluhur; dan Altar Langit suatu panggung berbentuk lingkaran yang dikelilingi
pembatas berbentuk segiempat atau dilambangkan peribahasa Tionghoa yang
berbunyi: 'Langit bulat dan bumi persegi". Altar ini memiliki tiga tingkat
dan masing-masing jurniah anak tangga ataupun tiang semuanya dibuat kelipatan
sembilan, yakni angka yang melambangkan kekaisaran.
Selama upacara yang berlangsung dua hari,
seluruh aktivitas di Beijing praktis terhenti. Seluruh pintu dan jendela
ditutup saat kaisar beserta rombongan berbaris Baris dari istana terlarang
menuju ke kuil itu. Setelah berpuasa dan mengenakan jubah baru, ia menaiki
tangga kuil serta melakukan upacara persernbalryangan. Kaisar menyembah
sembilan kali dan memohon berkah serta perlindungan bagi negerinya.
Istana Terlarang yang tersohor ke seluruh
penjuru dunia merupakan bukti lain keagungan seni arsitektur Dinasti Ming.
Pembangunannya dimulai pada tahun 1406 dengan mengerahkan 200.000 pekerja dan
dihuni pada tahun 1421 oleh kaisar.
Dan keluarga sebelum tembok luar
dan gerbangnya selesai. Istana terlarang ini bagaikan sebuah kota dengan
berbagai bangunan istana beserta berjalan-jalannya, di mana secara keseluruhan
terdapat 9.000 ruang mencapai 250 akre. Pemilihan bahan bangunan dan warna,
menjadikan istana ini tampak sangat dramatis dan tidak ada bandingannya
sejarah.
Dinasti Ming juga sangat terkenal akan
keramik-keramiknya yang di ekspor ke seantoro penjuru dunia. Kaisar-kaisarnya
sendiri meniadi pelindung bagi industri keramik dengan mendirikan pabrik
keramik kekaisaran di Jingdezhen, Provinsi Jiangxi. Para seniman keramik di
tempat ,menyempurnakan teknik-teknik baru bagi pembuatan barang pecah-belah
yang diperuntukkan bagi kelas atas tersebut.
Kebanyakan
keramik yang hasilkan berwarna biru dan putih dengan ragam hiasnya bercorak
naturalistik. Keramik ini dihasilkan dari campuran antara kaolin (Tanah liat
putih) dengan sejenis batu yang dinamakan petuntse dan dipanggang pada
temperatur 1400° C sehingga menjadi sangat keras, bahkan baja dikatakan tidak sanggup
menggoresnya. Produksi keramik mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Xuande
dan Jiajing. menjadi lebih berharga ketimbang sutra dan diekspor hingga ke Jepang, Asia Tenggara,
serta Timur Dekat.
Dalam bidang
seni lukis, pemerintah Dinasti Ming berupaya menghidupkan kembali kejayaan seni
lukis Dinasti Song. Objek lukisan pada masa itu adalah pemandangan alam atau
hewan. Sebagaimana halnya pada zaman Dinasti Song, lukisan Ming bernuansa
realistik.
Salah seorang
pelukis terkenal pada zaman itu adalah Wang Thengming (1470-1559), yang pada
usia 80 tahun melukis pohon sipres di atas batu kirang yang kokoh sebagai
perlambang bagi kekuatan. Di bagian kiri atas lukisan itu, ditulisnya sebait
sajak: “Dihujani oleh salju, dihantam oleh kebekuan, cabang-cabangnya seiring
dengan berlalunya bulan dan tahun menjadi terpelintir dan puncak-puncaknya
bengkok, meskipun ,demikian kekuatannya yang luar biasa tetaplah abadi."
Pelukis lainnya, Qiu Ying (1520-1552), telah menghasilkan lukisan yang
menggambarkan para sarjana sedang mengarnati hasil ujian.
Seni ilustrasi
pada buku mengalami kemajuan pesat semasa Dinasti. Anehnya, pendorong kemajuan
ini adalah tidak adanya hak cipta pada masa itu, sehingga suatu penerbit tidak
dapat mencegah penerbit lain untuk menerbitkan buku yang sama. Oleh karena itu,
agar dapat menang dalam persaingan, para penerbit berlomba-lornba untuk
menghiasi buku terbitannya dengan gambar-gambar agar dapat menarik minat
pembaca. pada zaman itu, mungkin terhadap banyak versi buku yang sama, tetapi
berbeda dalam
hal ilustrasinya.
Semasa
pemerintahan Chenghua (1465-1487), terjadi perkembangan yang pesat dalam bidang
industri, seperti sutra yang dihasilkan di Suzhou. Ini menciptakan golongan
kaya baru yang berlomba-lomba dengan kaum bangsawan dalam mengumpulkan
benda-benda seni. Pusat kebudayaan berpindah ke sebelah selatan, yakni ke
lembah Sungai Yangzi. Sementara itu, di desa-desa para petani miskin yang tidak
mempunyai tanah berbondong-bondong ke kota, sehingga terjadi arus urbanisasi.
Mencontek bukanlah tindakan yang patut
diteladani. Tetapi terlepas dari semua itu, bukan hanya siswa atau mahasiswa di
zaman sekarang yang melakukannya demi memperoleh kelulusan dalam ujian. Para
pese ujian pada zaman dahulu menuliskan karya-karya klasik Konfusianisme yang
menjadi bahan ujian pada kemeja bagian dalam mereka. Pada saat mengikuti ujian
negara, para sarjana ditinggalkan seorang diri dalam ruangan sehingga memungkinkan mereka untuk
melihat contekannya itu.
Zheng He berangkat pada tahun 1405 dengan membawa 63
kapal yang memuat 27.870 orang (jauh lebih banyak dibandingkan dengan pelayaran
Columbus). Hal terpuji yang patut kita teladani di sini adalah meskipun membawa
kekuatan besar, tetapi Zheng He tidaklah berusaha menaklukan atau menjajah
negeri-negeri yang dikunjunginya. Ini tentunya berbeda dengan bangs Barat, di
mana penjelajahan yang mereka lakukan selalu diakhiri dengan penjajahan.
Pelayaran samudra ini mendahului misi pelayaran Columbus dan penjelajah barat
lainnya. Misi pelayaran besar ini, hanya dapat dimungkinkan bila China telah
mengembangkan pengetahuan mengenai navigasi serta pelayaran yang tinggi. Bukti
nyata kemajuan teknologi China dalam bidang pelayaran diperlihatkan oleh sebuah
kitab berjudul Wu Pei Chi, yang
isinya mengenai seluk-beluk pelayaran China Kuno. Kitab itu juga mencatat pula
posisi bintang-bintang petunjuk arah serta informasi geografis daerah-daerah
asing, seperti letak, keadaan alam, dan lain sebagainya.
Bintang kutub memiliki arti penting bagi bangsa
Tionghoa serta merupakan dasar bagi astronomi China. Bintang ini dianggap
sebagai “kaisar” nya bintang. Sebagaimana para menteri, pejabat, hamba, dan
rakyat yang bersama-sama mengelilingi kaisar, demikian pula halnya dengan
bintang-bintang lain yang “mengelilingi” bintang kutub. Berbeda dengan astronom
Yunani, seperti Aristoteles dan Ptolomeus, yang menentukan garis lintang
berdasarkan jaraknya dari garis khatulistiwa, bangsa Tionghoa menentukan garis
lintang berdasarkan jaraknya dari
bintang kutub utara (Polaris). Penentuan acuan berdasarkan bintang kutub
ini memiliki kelebihan, karena dapat menentukan garis lintang tempat kita
berada saat itu hanya dengan mengukur sudut ketinggian bintang kutub. Jadi bila
anda berada tepat di kutub utara, bintang kutub utara akan berada pada posisi
90º. Sebaliknya, bila sedang berada tepat pada garis Khatulistiwa, anda akan
melihat bahwa sudut ketinggian bintang kutub adalah 0º, atau dengan kata lain
Anda kini berada pada garis lintang 0º. Oleh karenanya, berdasarkan sistem
perhitungan ini, garis Khatulistiwa akan setara dengan garis lintang 0º, sedangkan kutub utara setara dengan garis
lintang 90º.
Meskipun demikian, metode ini juga memiliki
kelemahan. Bila seorang telah berada di belahan bumi selatan, ia tidak akan
dapat menentukan posisinya lagi; karena bintang kutub utara tidak dapat diatasi
dengan menentukan posisi matahari yang tidak berpengaruh oleh belahan bumi
utara maupun selatan. Namun, bangsa Tionghoa belum mengenal teknik ini, yang
juga baru ditemukan oleh bangsa Portugis pada tahun 1474. Untuk mengatasi hal
itu, bila berada di belahan bumi selatan, para pelaut China hanya mengandalkan
kompas, jam pasir, dan juga kecepatan kapal.
Untuk menghitung posisi atau jarak yang telah
ditempuh, mereka hanya mengalihkan kecepatan kapal dengan waktu yang telah
berlalu. Metode ini tentu saja sangat tidak akurat, mengingat kecepatan kapal
selalu berubah, misalnya saat harus bergerak melawan arus laut. Inilah sebabnya
mengapa pengukuran garis lintang yang dilakukan pelaut China tidak lagi akurat
bila berada di belahan bumi selatan. Permasalahan ini baru terpecahkan setelah
akhir pelayaran keenam, di mana mereka telah memetakan rasi-rasi bintang
belahan selatan dan mempergunakannya sebagai petunjuk arah.
Kini kita akan membahas mengenai kemajuan teknik
pembuatan kapal yang telah dikuasai dengan baik
oleh bangsa China pada masa Dinasti Ming.
Bangsa Tionghoa selama berabad-abad telah
mengembangkan teknik pembuatan kapal yang sanggup bertahan terhadap ganasnya
samudra raya. Mereka menemukan cara pembuatan rangka kapal yang kokoh dan
terbagi atas berbagai bagian. Pada ujung masing-masing bagian itu, terdapatlah
bagian yang kedap air, mirip dengan ruas-ruas batang bambu. Ujung-ujung yang
kedap air ini lalu dibaut bersam-sama dengan menggunakan paku logam yang
beratnya mencapai beberapa kilogram. Tiga lapisan kayu keras dipakukan pada
rangka kapal yang kemudian dilapisi dengan serat kelapa ( coconut fibre) sehungga menjadi kedap air. Agar lebih kuat lagi,
konstruksi itu masih dilapis dengan campuran antara minyak pohon tung dan kapur. Teknik ini telah
dikembangkan sejak abad ke-7. Tentu saja untuk membuat kapal sebesar dan
sebanyak yang dipergunakan Zheng He dalam misi muhibahnya diperlukan sejumlah
minyak pohon tung, sehingga
berhektar-hektar tanah di sepanjang Sungai Yangzi harus dibersihkan dan
selanjutnya ditanami pohon tung.
Para ahli perkapalan di Longjiang, yang merupakan
pusat pembangunan kapal masa itu, telah merancang kapal mereka agar tahan
terhadap badai yang paling dahsyat di laut. Kapal-kapal raksasa itu akan
bertahan terhadap amukan topan, dan konstruksi yang terpisah menjadi beberapa
bagian atau bilik itu mengurangi resiko tenggelam, karena bertabrakan dengan karang
atau gunung es. Kapal itu dirancang untuk terus mengapung, meskipun kedua
biliknya telah bocor dan dibanjiri air.
Para pemimpin ekspedisi ini merupakan orang-orang
yang cakap dan berpengetahuan tinggi, tetapi kebanyakan anak buah mereka
berasal dari kalangan bawah. Sebagian besar dari mereka adala para penjahat
yang dihukum buang ke laut dan hukuman ini justru malah menguntungkan mereka,
karena kehidupan sebagai anak buah kapal jauh lebih baik ketimbang sebagai
tahanan. Selain anak buah kapal, penjelajahan ini juga membawa serta para ahli
dalam berbagai bidang, seperti ahli navigasi dan pertukangan. Tugas para tukang
tersebut adalah memperbaiki layar, jangkar, pompa, dan bagian-bagian kapal
lainnya. Ikut serta pula para ahli sejarah yang bertugas mencatat apa saja yang
dijumpai dalam perjalanan itu, seperti Ma Huan. Catatannya yang berjudul Pengamatan Keseluruhan atas Lepas Pantai
(yang Dijumpai Sepanjang Perjalanan) diterbitkan tahun 1433, setelah
perjalanan terakhir Zheng He.
Secara keseluruhan, Zheng He telah melakukan tujuh
kali pelayaran. Pelayaran pertama diawali pada tahun 1405, dengan membawa 63
kapal serta 27.870 orang. Armada ini lalu berlayar menuju Indocina, Champa, dan
singgah di Palembang. Saat itu yang berkuasa di Palembang adalah orang Tionghoa
bernama Zhen Ziyi. Zheng He mengundangnya untuk datang menghadap. Zheng
berpura-pura menerima undangan itu, tetapi secara diam-diam menyerang Zheng He.
Tetapi, Zhen berhasil dikalahkan dan dibawa menghadap Kaisar Yongle, yang
menjatuhinya hukuman penggal.
Perjalanan kedua dilakukan pada tahun 1408 yang
mengunjungi Pahang, Singapura, Malaka, Kalkuta, Srilanka, Maladewa,
Quilon,Cochin, Kalkuta, Persia, Aden, dan Makkah. Raja Srilanka ditawan oleh
Zheng He karena sering menganiaya orang Tionghoa Buddhis yang datang beribadah
kesana. Selain itu, ia juga berusaha menyerang Zheng He dengan tipu muslihat.
Perjalanan ketiga berawal pada tahun 1412. Zheng He pada kesempatan kali ini
mengunjungi Sumatera, Jawa, Madura, dan lain sebagainya. Pada tahun 1416, Zheng
He mengawali muhibah keempatnya dengan disertai oleh utusan berbagai negeri
mempersembahkan upeti pada Dinasti Ming.
Ekspedisi keempat menempuh rute perjalanan yang
lebih panjang dibandingkan dengan sebelumnya. Mereka menyinggahi Arab, pesisir
timur dibandingkan dengan sebelumnya. Mereke menyinggahi Arab, pesisr timur
Afrika, mengitari Pulau Madagaskar. Misi muhibah kelima dilakukan pada tahn
1421 dengan menyinggahi Siam dan Sumatera. Sedangkan ekspedisi pelayaran keenam
diawali pada tahun 1424 dengan tujuan Sumatera. Misi muhibah keenam merupakan
yang terakhir yang dilakukan di bawah pemeintahan Kaisar Yongle. Kaisar Ming
berikutnya, Hongxi, untuk sementara waktu menghentikan pelayaran. Tetapi,
pengganti Hongxi, Xuande, memerintahkan agar Zheng He berlayar kembali demi
mempererat hubungan dengan negara-negara
diseberang lautan. Perjalanan ini dilakukan antara 1430-1433 dan mengunjungi
Srialnka, kalkuta, cochin, Persia, Aden, dan Madagaskar.
Sehubungan dengan misi pelayaran Zheng He ini, Gavin
Menzies seorang pensiunan angkatan laut Amerika menulis sebuah buku menarik
berjudul 1421: The Year China Discovered
the World, yang menyatakan bahwa ekspedisi Zheng Hetelah mencapai Amerika,
Australia, dan Antartika.
Tokoh
Konfusianis terkenal pada zaman ini adalah Wang Yangming (1472-1528/9), seorang
keturunan keluarga sarjana serta pejabat terpandang. Meski mencapai peringkat
kedua pada ujian negara pada usia 21 tahun, tetapi hanya memangku jabatan kecil
saja hingga berusia sekitar 30 tahun
saat diserahi jabatan sebagai hakim ptovinsi. Setahun kemudian, Wang
mengundurkan diri dan mempelajari Buddhisme serta Daoisme untuk sementara
waktu. Saat berusia 33 tahun, negara memanggilnya kembali dengan menugaskannya
sebagai komandan pasukan.
Dua tahun kemudian, Wang menulis petisi
pembelaan kepada kaisar bagi dua orang pejabat yang ditahan secara tidak adil.
Karena isinya menghina seorang kasim korup pada masa itu, Wang dijatuhi hukuman
pukulan dan dibuang ke tempat terpencil. Di tempat terpencil itu, Wang
mencurahkan waktunya untuk menyistemasikan buah pemikiran filosofisnya. Wang
baru diundang kembali ke Nanjing saat berusia 42 tahun. Hasil pemikirannya
menarik perhatian para sarjana dari seluruh penjuru kerajaan. Pada masa akhir
hayatnya, Wang mengundurkan diri ke desa asalnya untuk mengajar, di mana banyak
orang terpelajar pada masa itu datang mengunjunginya.
Pemikiran Wang Yangming dapat
diringkaskan sebagai berikut:
Pikiran
dan gagasan (principles) adalah satu. Sehingga kita boleh mengatakan bahwa
gagasan-gagasan itu adalah sebagai hal yang hadir dalam pikiran seseorang.
Dahulu pada zaman Song, para filosof berusaha mencari kebenaran di luar dirinya
sendiri. Namun, Wang mencoba beralih pada dirinya sendiri untuk menemukan
kebenaran tersebut. Gagasan Wang Yangming ini kemudian disebut sebagai
“mempelajari pikiran ” (study of mind) yang berbeda dengan para filosof Dinasti
Song dengan metode “penelaahan atas gagasan” mereka.
Kesadaran
adalah kemampuan dalam diri manusia untuk membedakan baik dan buruk. Wang
berpendapat bahwa kesadaran ini identik dengan prinsip alami. Atau dengan kata
lain, prinsip alami adalah standar untuk membedakan baik dan buruk. Kesadaran
adalah hadirnya prinsip alami di dalam pikiran seseorang. Jadi, tujuan
pelatihan diri adalah untuk membebaskan seseorang dari hawa nafsu keinginan,
sehingga mmeungkinkan kesadaran itu untuk hadir sepenuhnya dan mencerahi
prinsip alami tersebut.
Kesatuan
antara pengetahuan dan tindakan. Wang mengajarkan para siswa untuk beralih dari
mempelajari kebenaran terhadap kitab-kitab semata dan menganjurkan mereka untuk
mencari kebenaran yang timbul melalui tindakan. Ia berkata, “Metode belajar
yang mulia untuk mencapai pengetahuan sepenuhnya hanyalah satu. Pengetahuan dan
tindakan hendaknya tidaklah dipisahkan.”
Lebih
jauh lagi, Wang Yangming meyakini bahwa setiap orang sebenarnya sanggup untuk
menjadi orang suci, sebagaimana yang dikatakan Mengzi bahwa setiap orang tidak
mustahil untuk menjadi seperti Yao dan Shun (dua orang kaisar purba yang mulia
dan bijaksana).
Pada
masa akhir Dinasti Yuan, timbul keyakinan yang kuat terhadap Maitreya atau
Buddha yang akan datang. Menurut keyakinan yang populer saat itu, seorang
penguasa bijaksana (mingwang) akan hadir di muka bumi ini ketika makhluk suci
tersebut turun ke bumi dari surga Tushita. Istilah mingwang ini dipergunakan
pula karena eratnya hubungan antara Sekte Maitreya dengan pengikut
Manikheanisme, yang disebut Mingjiao (harfiah: Agama Terang) oleh bangsa
Tionghoa karena pemujaannya terhadap api. Bahkan pada saat itu, terdapat naskah
Manikheanisme yang berjudul Daxiao mingwang chushi I (Kemunculan di Dunia
Penguasa Mulia Mayor dan Minor). Oleh karena itu, Han Shantong, pemimpin Perkumpulan
Teratai Putih yang memberontak terhadap bangsa Mongol pada tahun 1351 memandang
dirinya sendiri sebagai Penguasa Mayor, sedangkan putranya, Liner dianggap
sebagai Penguasa Minor. Karena Zhu Yuanzhang merupakan anggota kaum pemberontak
yang dipengaruhi oleh gagasan penguasa mulia ini, ia lalu menamai dinastinya
sebagai Ming, atau dengan kata lain, ia memandang dirinya sendiri sebagai
penguasa mulia dan sejati tersebut.
Karena
Zhu Yuanzhang pernah menjadi biarawan Buddhis, ia sangat mendukung Buddhisme.
Kerap dikumpulkannya para biksu di istana untuk mengajar berbagai naskah suci
Buddhis seperti Prajnaparamita dan Lankavatara. Kerajaan menyokong orang-orang
yang hendak menjadi biarawan, sehingga jumlah mereka makin meningkat pesat.
Pada tahun 1372, 57.200 biarawan Buddhis dan Daois ditahbiskan, sementara itu
jumlahnya meningkat menjadi 96.328 pada tahun berikutnya. Jumlah orang yang
ingin menjadi biarawan mekin meningkat pesat, sehingga akhirnya kerajaan merasa
perlu untuk melakukan berbagai pembatasan, seperti larangan bagi mereka yang
berusia di bawah 20 tahun untuk menjadi biarawan setra pengujian niat mereka.
Selama
masa pemerintahan Wanli, seorang imam Yesuit bernama Matteo Ricci (1552-1616)
memperkenalkan kembali agama kristen di China yang sebelumnya sudah pernah
masuk ke negeri tersebut dalam bentuk Nestorianisme. Sebelumnya, Fransiskus
Xaverius sudah pernah tiba di Macao, tetapi terburu meninggal pada tahun 1552,
sebelum sempat memasuki China. Matteo Ricci dilahirkan di dekat Roma dan
mencapai China pada usia 30 tahun. Saat hendak menjalankan misinya, Matteo
Ricci menyadari bahwa bangsaTionghoa menjunjung tinggi pengetahuan-pengetahuan
karya klasik Konfusianisme. Sehingga demi menunjang keberhasilan misinya, Ricci
mulai mempelajari karya-karya tersebut. Bahkan penguasaannya akan literatur
Tionghoa tersebut membangkitkan kekaguman para sarjana dan bangsawan Dinasti
Ming. Ia sanggup menghafalkan halaman yang terdiri dari 500 huruf serta
mengucpkannya kembali di luar kepala baik secara maju maupun mundur. Kekaguman
ini masih ditambah lagi dengan keahliannya dalam bidang matematika, geografi,
astronomi, dan musik.
Ricci
meyakini bahwa bangsa Tionghoa hanya dapat diperkenalkan pada kekristenan jika
ia dapat menghadirkan suatu bentuk agama tersebut yang selaras dengan
Konfusianisme (mengizinkan penghormatan pada leluhur). Kebijaksanaan inilah
yang kemudian mendorong beberapa sarjana terkemuka Tionghoa menganut Kristen.
Di bawah pengganti Ricci,yakni Johann Adan Von Schall dan John (Johann) Schreck
(Terrrentius) yang tiba di Beijing pada tahun 1622, jumlah umat Kristen
Tionghoa meningkat menjadi ribuan. Namun, dekrit kepausan pada abad ke- 18 yang
melarang masuknya praktik-praktik tradisional ini ke dalam agama Kristen mulai
menghambat kegiatan misionaris yang diperintahkan untuk mengajarkan agama
Kristen secara murni dikejar-kejar oleh pemerintah dan dipenjara karena
berusaha menghapuskan kepercayaan tradisional bangsa Tionghoa.
Misionaris
lain yang terkenal adalah Etienne Faber. Tokoh legendaris ini hidup pada masa
akhir Dinasti Ming dan berkarya di Shanzi. Ia telah mengarang banyak karya
mengenai hagiografi Buddhis dan Daois. Biarawan ini telah melakukan banyak
mukjizat, seperti berdekatan dengan binatang buas tanpa dimangsa oleh mereka,
memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit, mengusir setan dari
tempat-tempat angker, menghalau hama belalang dengan air suci, dapat mengetahui
sebelumnya saat kematiannya, mayatnya tidak membusuk, dan pada saat banjir
makamnya tidak terkena amukan air. Misionaris ini setelah meninggal diangkat
sebagai dewa bumi (fangtudi).
Selain misi pelayaran Zheng He yang mengunjungi
kepulauan Nusantara, hubungan dengan China tetap terjalin baik. Selama lebih dari
100 tahun, sejumlah Duta Besar dan Panglima China telah mengumpulkan daftar
kata bahasa Melayu. Kurang lebih tahun
1560, sejumlah 500 kosakata telah dikumpulkan oleh Yang Lin, juru tulis
kearsipan di Ibukota Dinasti Ming. Kita akan mencantumkan beberapa di antaranya
dalam tabel sebagai berikut.
Makna Semasa Dinasti Ming
|
Transliterasi bahasa Mandarin (tidak dalam pinyin)
|
Bunyi Bahasa Melayu
|
Arti sekarang
|
Kamfer
|
Chia pu erh
|
Kapur
|
Kamfer
|
Kurma
|
Ko lo ma
|
Kurma
|
Kurma
|
Cengkeh
|
Chen chieh
|
Cengkih
|
Cengkeh
|
Batu
Karang
|
Pa wan lan
|
Pualam
|
Marmer
|
Akik
Merah
|
Ya chi
|
akik
|
Akik
|
Tinta
|
Mang his
|
mangsi
|
Noda
hitam
|
Kelengkeng
|
La mo tan
|
Rambutan
|
rambutan
|
Istilah-istilah yang sebagian besar berhubungan
dengan hasil bumi itu memperlihatkan adanya hubungan perdagangan yang ramai
dengan China. Selain itu, kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa Melayu yang
kelak berkembang menjadi bahasa Indonesia telah menjadi bahasa persatuan (lingua franca) semenjak lama.
Dinasti
Ming ini berdiri pada tahun 1368, setelah Zhu
Yuanzhang berhasil mengusir Bangsa Mongol, Zhu Yuanzhang menobatkan dirinya
sebagai kaisar dengan gelar Ming Taizu (1368-1398). Tahun pemerintahannya
disebut dengan Hongwu, sehingga ia juga dikenal dengan sebutan Kaisar Hongwu.
Di
penghujung Dinasti Ming, pemberontakan marak di seluruh negara dan pada
puncaknya, Beijing jatuh ke tangan pemberontak yang dipimpin oleh Li Zicheng.
Kekalahan ini menyebabkan Chongzhen
menggantungkan dirinya di bukit di belakang Kota
Terlarang. Li yang bersengketa dengan Wu Sangui menangkapi keluarganya
di Beijing menyebabkan Wu memutuskan untuk menyerah kepada suku Manchu yang
kemudian menaklukkan Li Zicheng dan menguasai Beijing pada tahun 1644.
Pada masa Dinasti Ming, terdapat beberapa
perkembangan-perkambangan seperti perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi,
perkembangan ilmu pengobatan, perkembangan seni, perkembangan ekonomi dan
kemasyarakatan, perkembangan dalam navigasi dan teknik pembuatan kapal, dan
perkembangan bidang keagamaan dan filsafat.
Dalam perkembangangan
navigasi dan Teknik Pembuatan Kapal,
Zeng He berangkat pada tahun 1405 dengan membawa 63 kapal yang memuat 27.870
orang (jauh lebih banyak dibandingkan dengan pelayaran Colombus). Hal terpuji
yang patut kita teladani di sini adalah meskipun membawa kekuatan besar, tetapi
Zheng He tidaklah berusaha menaklukan atau menjajah negeri-negeri yang
dikunjunginya. Ini tentunya berbeda dengan bangsa Barat, di mana penjelajahan
yang mereka lakukan selalu diakhiri dengan penjajahan. Pelayaran samudra ini
mendahului misi pelayaran Colombus dan penjajah barat lainnya. Misi pelayaran
besar ini, hanya dapat dimungkinkan bila China telah mengembangkan pengetahuan
mengenai navigasi serta pelayaran yang tinggi. Bukti nyata kemajuan teknologi
China dalam bidang pelayaran diperlihatkan oleh sebuah kitab berjudul Wu Pei
Chi, yang isinya mengenai seluk-beluk pelayaran China kuno. Kitab itu juga
mencatat pula posisi bintang-bintang petunjuk arah serta informasi geografis
daerah-daerah asing, seperti letak, keadaan alam, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangan
keagamaan, pada masa Dinasti Ming memmbagi menjadi tiga tahap yaitu
konfusianisme, Buddhiisme, Kedatangan misionaris Kristen. Dalam Konfusianisme, tokoh Konfusianis
terkenal pada zaman ini adalah Wang Yangming (1472-1528/9), seorang keturunan
keluarga sarjana serta pejabat terpandang. Dalam Buddhiisme timbul pada
masa akhir Dinasti Yuan.
Dan dalam kedatangan misionaris Kristen ini diperkenalkan oleh seorang
imam Yesuit bernama Matteo Ricci (1552-1616).
Dinasti Ming dalam hubungannya dengan kepulauan
nusantara, selain misi pelayaran Zheng He yang
mengunjungi kepulauan Nusantara, hubungan dengan China tetap terjalin baik.
Selama lebih dari 100 tahun, sejumlah Duta Besar dan Panglima China telah
mengumpulkan daftar kata bahasa Melayu.
Kurang lebih tahun 1560, sejumlah 500 kosakata telah dikumpulkan oleh
Yang Lin, juru tulis kearsipan di Ibukota Dinasti Ming.
DAFTAR PUSTAKA
Taniputera, Ivan. 2009. History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Kwang, Hwa. 1991. Republik Cina
Selayang Pandang. Taipe: Published by Kwang Hwa Publishing Company.
Xin, Xu. 2010. 5
Orang China Pengubah Dunia. Yogyakarta: Pustaka Solomon.
http://mypostsblog.wordpress.com/2014/01/11/dinasti-ming-dinasti-manchu/